Senin, 17 Desember 2012

budi utomo



Budi Utomo
oleh: salvetri
A.    Latar belakang
Perkembangan-perkembangan pokok pada masa ini adalah munculmya ide-ide baru mengenai organisasi serta dikenalkannya defenisi-defenisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide baru tentang organisasi meliputi bentuk-benuk kepemimpinan yang baru, sedangkan defenisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi.
Lewat tulisan dalam surat kabar dapat dikomunikasikan secara luas berbagai gagasan mengenai kondisi kehidupan kaum pribumi, antara lain keadaan serba terbelakang dalam berbagai bidang, status yang rendah bila dibandingkan dengan golongan eropa, diskriminasi antara pribumi dan Belanda , dan sebagainya. Di samping itu banyak dilontarkan hasrat untuk maju, mengikuti perubahan zaman, meningkatkan taraf hidup, memperluas kesempatan menuntut pendidikan, pendeknya ide mengemansipasikan diri. Gagasan emansipasi yang dirumuskan secara tajam dan bulat oleh Kartini tersebar luas, khususnya cita-cita memperluas pendidikan sebagai wahana yang utama.
Aspirasi untuk mencapai kemajuan dikalangan kaum terpelajar meluap-luap dan mereka mengidentifikasikan diri sebagai kaum maju. Kesempatan menuntut pelajaran rupanya tidak memadai dengan kebutuhan akan sekolah yang meledak itu. Jumlah sekolah terbatas, lagi pula banyak peraturan yang membatasi penerimaan murid, lebih-lebih untuk masuk sekolah eropa bagi golongan pribumi. Disamping itu biaya sekolah relatif tinggi sehingga menjadi hambatan besar bagi anak-anak yang mempunyai bakat besar. Di kalangan kaum terpelajar atau priyayi professional telah cukup lama dirasakan akan kebutuhan yang besar untuk menuntut pelajaran, disamping juga banyaknya hambatan yang menghalang-halangi terpenuhnya hasrat yang besar itu. Kesadaran akan adanya ketimpangan ini akhirnya mendorong Dokter Wahidin untuk mengambil inisiatif melancarkan suatu reaksi untuk mengumpulkan dana yang akan digunakan sebagai beasiswa (studiefounds). (Sartono Kartodirdjo, 1999:100)
Pada tahun 1906 Dr. Wahidin mengadakan perjalanan keliling jawa dan menemui para bupati dan orang-orang terkemuka dengan tujuan melancarkan propaganda bagi ide itu, tetapi tidak banyak diantara mereka itu yang menaruh minat pada usahanya. Kemudian pada tahun 1907, Wahidin berkunjung ke STOVIA. Disana, di salah satu lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi rendah jawa itu, dia mendapat tanggapan yang bersemangat dari murid-murid sekolah tersebut yaitu Soetomo dan Soeradji. Diambil keputusan untuk membentuk suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah. Pada bulan Mei 1908 pukul Sembilan pagi, diselenggarakan pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Para hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak saja para siswa sekolah ini, tetapi juga siswa-siswa dari sekolah pertanian dan kehewana di bogor, sekolah pamong praja pribumi di magelang dan probolinggo, siswa-siswa sekolah menengah petang di Surabaya, dan sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi di bandung, Yogyakarta, dan Probolinggo.(Nagazumi, 1989: 62)
B.     Perkembangan
Budi utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan kesatuan administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat sunda dan Madura yang kebudayaanya berkaitan erat dengan Jawa. Dan juga organisasi ini merupakan lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan ( Ricklefs, 2010: 355-356).
Pada tanggal 3-5 oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama di Yogyakarta. Kongres itu menetapkan tujuan perkumpulan: kemajuan yang selaras (harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran, pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan ilmu). Pengurus pertama terdiri dari: Tirto Kusumo (Bupati Karanganyar), sebagai ketua; Wahidin Sudiro Husodo (dokter Jawa) , Wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugomdo (kedua-duanya guru Kweekschool), sekretaris; Gondoatmodjo (opsir legiun Pakualaman), bendahara; Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa kepala Surakarta), dan Tjipto Mangoenkoesoemo (dokter di Demak) sebagai komisaris. Simpatisan untuk organisasi ini berdatangan, sehingga setahun kemudian (1909) tercatat 40 cabang.
Pada saat itu, bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut. Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), yang radikal dan juga seorang dokter, memimpin sekelompok minoritas. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya, bukan hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih besar diseluruh Indonesia, tidak terbatas di Jawadan Madura saja. Dr. Radjiman Wediodiningrat (1879-1951), seorang ‘dokter-jawa’ lain, mengemukakan ide-idenya. Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa,  dialektika Hegel, subjektivisme Kant, dan antirasionalisme Bergson, serta sudah menganut doktrin-doktrin mistik teosofi sebagai perpaduan timur dan barat. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Radjiman tidak berhasil meraih kemenangan. Tjipto tampaknya seorang radikal yang berbahaya dan Radjiman rupanya seorang reaksioner yang kaku. Dipilihlah suatu dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung pedndidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih menjadi anggota dewan, tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal.
Setelah Tjipto meninggalkan Budi Utomo tidak ada kontroversi lagi dalam tubuhnya, namun Budi Utomo kehilangan kekuatan yang progresif, sehingga perkembangan selanjutnya didominasi oleh golongan ningrat atau aristokrasi. Dengan demikian Budi Utomo tumbuh sebagai organisasi yang moderat serta koperatif terhadap Belanda, dan evolusioner. Gubernur Jendral van Heutsz menyambut baik Budi Utomo, persis seperti ia sebelumnya menyambut baik penerbitan Bintang Hindia, sebagai tanda keberhasilan politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo atau sekedar menganggapnya sebagai gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada desember 1909, Budi Utomo dinyatakan sebagai organisasi yang sah.
Dalam Budi Utomo sebagai organisasi modern tertampunglah kebutuhan akan interaksi sosial dikalangan priyayi professional dan birokrsi itu, antara lain untuk mengatasi kekurangannya ikatan-ikatan primordial dan komunal. Keanggotaan Budi Utomo member identitas baru dan sekaligus mencakup perseorangan dalam solidaritas baru ( Durkheim: organic solidarity). Jaringan sosial ternyata terbatas pada subkultur regional (Jawa) serta subkultur priyayi sehingga Budi Utomo mengalami keterbatasan dalam memobilisasi anggota. Golongan-golongan tanpa identitas subkultur tersebut dengan sendirinya ada di luar jangkauannya. Reaksi dari golongan itu yang kesemuanya merupakan manifestasi dari identitas golongan masing-masing, baik solidaritas subkultur etnis, maupun subkultural kelas atau golongan sosialnya.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan penting saat kepemimpinan Pangeran Noto Dirodjo. Saat itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata "politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia) adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam, untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda. Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus yang memperkuat makna tersebut. Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya, rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel "Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto Mangoenkoesoemo ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, sejak itu Budi Utomo tampil sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Waktu didirikan,  Budi Utomo pada hakikatnya sudah menghendaki suatu tujuan politik, tetapi dalam lahirnya, tidak begitu tegas dinyatakan tujuan itu ialah “kemerdekaan” tetapi hanya “kehidupan sebagai bangsa yang terhormat”. Maka pada waktu itu belum dapat dikatakan bahwa Budi Utomo didirikan sebagai perkumpulan politik. Hal ini juga di sebabkan, pada waktu itu ada pasal yang tegas melarang perkumpulan politik. Tetapi pada perkembangannya praktek Budi Utomo didorong kelapangan politik. Di mulai pada perang dunia I (1914-8), pelayaran antara Indonesia dan eropa terganggu oleh perang itu, komunikasi terhambat, anggaran belanja untuk kesejahteraan dikurangi, harga barang naik dan kesejahteraan rakyat Indonesia merosot.
Masalah Indíë weerbaar (pertahanan hindia) mula-mula merupakan persoalan pertahanan, tetapi segera berkaitan erat dengan usul-usul bagi pembentukan Volkraad, “dewan rakyat”. Gagasan pembentukan milisi paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia telah dipertimbangkan, dan ditolak oleh pemerintah pada tahun 1913-4. Akan tetapi, dengan pecahnya Perang Dunia I pada bulan Agustus 1914, gagasan tersebut dibicarakan lagi, karena milisi meruakan kekuatan pertahanan yang lebih murah daripada memperbesar pasukan professional. Pada tahun 1916-7, suatu deligasi yang terdiri atas wakil Budi Utomo, SI, Regenten Bond, dan organisasi-organisasi serupa dari keempat kerajaan Jawa berkunjung ke negeri Belanda. Mereka mengajukan petisi kepada Ratu Wilhemina. Ketika parlemen Belanda bertindak menangani masalah-masalah itu, maka rancangan undang-undang bagi pembentukan milisi pribumi tidak disetujui, tetapi pada bulan desember 1916 rancangan undang-undang bagi pembentukan Volsraad disetujui.
Partai-partai Indonesia kini bersiap-siap untuk pemilihan anggota Volksraad. Setelah Volksraad terbentuk ada usaha untuk mempersatukan aliran-aliran yang pada waktu itu terdapat golongan kiri. Pada waktu itu diadakan usaha untuk mempersatukan, untuk mendirikan suatu fraksi di dalam Volksraad yang dinamakan radical concentratie. Atas prakarsa dari anggota ISDV, Ir. Kramer. Yang masuk di dalam perkumpulan ini ialah ISDV, Budi Utomo, SI dan NIP.
Dalam perkembangan selanjutnya dalam suasana politik yang semakin terbuka melalui Kongres 1928, Budi Utomo memutuskan akan menjalankan prinsip nonkooperasi jika rencana undang-undang tentang Inlandsche Meerderheid dalam Volksraad ditolak Perwakilan Rakyat Belanda. Keputusan penting penambahan satu kalimat dalam pasal tujuan perhimpunan: membantu terlaksananya cita-cita persatuan Indonesia. Konggres 1932, tujuan BU diubah secara radikal yaitu Mencapai Indonesia Merdeka. Prakarsa mengenai fusi disetujui kongres; terbuka bagi perhimpunan yang beranggotakan orang Indonesia; diselenggarakan atas dasar kenasionalan Indonesia yang menuju Indonesia merdeka dan Kesatuan; bersikap kooperatif, dengan hal-hal tertentu dijalankan non-kooperatif. Konggres Juni 1933, membahas masalah Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen ordonnantie), perbaikan hidup kaum tani dan menentang pembatasan hak berserikat dan berkumpul. Januari 1934, dibentuk komisi PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), yang kemudian disetujui oleh kedua pengurus besarnya pertengahan 1934. Tanggal 24-26 Desember Kongres peresmian fusi dan juga merupakan kongres terakhir BU, dan lahirlah Partai Indonesia Raya atau disingkat PARINDRA. Demikian selesailah riwayat perkumpulan Budi Utomo.








DAFTAR PUSTAKA
AK. Pringgodigdo. 1986. Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia. Jakarta: Dian Rakyat
Kartodirdjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru: Sejarah pergerakan Nasional dari komunis sampai nasionalisme jilid 2. Jakarta: PT.Gramedia
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008. Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi
Susanto Tirtoprodjo. 1988. Sejarah Pergerakan Nasional Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar