Budi
Utomo
oleh: salvetri
A. Latar belakang
Perkembangan-perkembangan
pokok pada masa ini adalah munculmya ide-ide baru mengenai organisasi serta
dikenalkannya defenisi-defenisi baru dan lebih canggih tentang identitas. Ide
baru tentang organisasi meliputi bentuk-benuk kepemimpinan yang baru, sedangkan
defenisi yang baru dan lebih canggih mengenai identitas meliputi analisis yang
lebih mendalam tentang lingkungan agama, sosial, politik, dan ekonomi.
Lewat
tulisan dalam surat kabar dapat dikomunikasikan secara luas berbagai gagasan
mengenai kondisi kehidupan kaum pribumi, antara lain keadaan serba terbelakang
dalam berbagai bidang, status yang rendah bila dibandingkan dengan golongan
eropa, diskriminasi antara pribumi dan Belanda , dan sebagainya. Di samping itu
banyak dilontarkan hasrat untuk maju, mengikuti perubahan zaman, meningkatkan
taraf hidup, memperluas kesempatan menuntut pendidikan, pendeknya ide mengemansipasikan
diri. Gagasan emansipasi yang dirumuskan secara tajam dan bulat oleh Kartini
tersebar luas, khususnya cita-cita memperluas pendidikan sebagai wahana yang
utama.
Aspirasi
untuk mencapai kemajuan dikalangan kaum terpelajar meluap-luap dan mereka mengidentifikasikan
diri sebagai kaum maju. Kesempatan menuntut pelajaran rupanya tidak memadai
dengan kebutuhan akan sekolah yang meledak itu. Jumlah sekolah terbatas, lagi
pula banyak peraturan yang membatasi penerimaan murid, lebih-lebih untuk masuk
sekolah eropa bagi golongan pribumi. Disamping itu biaya sekolah relatif tinggi
sehingga menjadi hambatan besar bagi anak-anak yang mempunyai bakat besar. Di
kalangan kaum terpelajar atau priyayi professional
telah cukup lama dirasakan akan kebutuhan yang besar untuk menuntut pelajaran,
disamping juga banyaknya hambatan yang menghalang-halangi terpenuhnya hasrat
yang besar itu. Kesadaran akan adanya ketimpangan ini akhirnya mendorong Dokter
Wahidin untuk mengambil inisiatif melancarkan suatu reaksi untuk mengumpulkan
dana yang akan digunakan sebagai beasiswa (studiefounds).
(Sartono Kartodirdjo, 1999:100)
Pada
tahun 1906 Dr. Wahidin mengadakan perjalanan keliling jawa dan menemui para
bupati dan orang-orang terkemuka dengan tujuan melancarkan propaganda bagi ide itu,
tetapi tidak banyak diantara mereka itu yang menaruh minat pada usahanya.
Kemudian pada tahun 1907, Wahidin berkunjung ke STOVIA. Disana, di salah satu
lembaga terpenting yang menghasilkan priyayi
rendah jawa itu, dia mendapat tanggapan yang bersemangat dari murid-murid
sekolah tersebut yaitu Soetomo dan Soeradji. Diambil keputusan untuk membentuk
suatu organisasi pelajar guna memajukan kepentingan-kepentingan priyayi rendah. Pada bulan Mei 1908
pukul Sembilan pagi, diselenggarakan pertemuan yang melahirkan Budi Utomo. Para
hadirin yang berkumpul di aula STOVIA tidak saja para siswa sekolah ini, tetapi
juga siswa-siswa dari sekolah pertanian dan kehewana di bogor, sekolah pamong
praja pribumi di magelang dan probolinggo, siswa-siswa sekolah menengah petang
di Surabaya, dan sekolah-sekolah pendidikan guru pribumi di bandung,
Yogyakarta, dan Probolinggo.(Nagazumi, 1989: 62)
B. Perkembangan
Budi
utomo pada dasarnya tetap merupakan suatu organisasi priyayi jawa. Organisasi ini secara resmi menetapkan bahwa bidang
perhatiannya meliputi penduduk Jawa dan Madura; dengan demikian, mencerminkan
kesatuan administrasi kedua pulau itu dan mencakup masyarakat sunda dan Madura
yang kebudayaanya berkaitan erat dengan Jawa. Dan juga organisasi ini merupakan
lembaga yang mengutamakan kebudayaan dan pendidikan ( Ricklefs, 2010: 355-356).
Pada
tanggal 3-5 oktober 1908, Budi Utomo menyelenggarakan kongresnya yang pertama
di Yogyakarta. Kongres itu menetapkan tujuan perkumpulan: kemajuan yang selaras
(harmonis) buat negeri dan bangsa, terutama dengan memajukan pengajaran,
pertanian, peternakan dan dagang, teknik dan industri, kebudayaan (kesenian dan
ilmu). Pengurus pertama terdiri dari: Tirto Kusumo
(Bupati Karanganyar), sebagai ketua; Wahidin Sudiro Husodo (dokter
Jawa) , Wakil ketua; Dwijosewoyo dan Sosrosugomdo (kedua-duanya guru
Kweekschool), sekretaris; Gondoatmodjo (opsir legiun Pakualaman), bendahara;
Suryodiputro (jaksa kepala Bondowoso), Gondosubroto (jaksa
kepala Surakarta), dan Tjipto Mangoenkoesoemo (dokter di Demak)
sebagai komisaris. Simpatisan untuk organisasi ini
berdatangan, sehingga setahun kemudian (1909) tercatat 40 cabang.
Pada
saat itu, bermunculan suara-suara baru untuk mengatur organisasi tersebut.
Tjipto Mangunkusumo (1885-1943), yang radikal dan juga seorang dokter, memimpin
sekelompok minoritas. Dia ingin agar Budi Utomo menjadi partai politik yang
berjuang untuk mengangkat rakyat pada umumnya, bukan hanya golongan priyayi, dan kegiatan-kegiatannya lebih
besar diseluruh Indonesia, tidak terbatas di Jawadan Madura saja. Dr. Radjiman
Wediodiningrat (1879-1951), seorang ‘dokter-jawa’ lain, mengemukakan
ide-idenya. Dia dipengaruhi kebudayaan Jawa, dialektika Hegel, subjektivisme Kant, dan
antirasionalisme Bergson, serta sudah menganut doktrin-doktrin mistik teosofi
sebagai perpaduan timur dan barat. Akan tetapi, baik Tjipto maupun Radjiman
tidak berhasil meraih kemenangan. Tjipto tampaknya seorang radikal yang
berbahaya dan Radjiman rupanya seorang reaksioner yang kaku. Dipilihlah suatu
dewan pimpinan yang didominasi oleh para pejabat generasi tua yang mendukung
pedndidikan yang semakin luas bagi kaum priyayi
dan mendorong kegiatan pengusaha Jawa. Tjipto terpilih menjadi anggota dewan,
tetapi mengundurkan diri pada tahun 1909 dan akhirnya bergabung dengan Indische Partij yang radikal.
Setelah
Tjipto meninggalkan Budi Utomo tidak ada kontroversi lagi dalam tubuhnya, namun
Budi Utomo kehilangan kekuatan yang progresif, sehingga perkembangan
selanjutnya didominasi oleh golongan ningrat atau aristokrasi. Dengan demikian
Budi Utomo tumbuh sebagai organisasi yang moderat serta koperatif terhadap
Belanda, dan evolusioner. Gubernur Jendral van Heutsz menyambut baik Budi
Utomo, persis seperti ia sebelumnya menyambut baik penerbitan Bintang Hindia, sebagai tanda
keberhasilan politik Etis. Memang itulah yang dikehendakinya: suatu organisasi
pribumi yang progresif-moderat yang dikendalikan para pejabat yang maju. Pejabat-pejabat
Belanda lainnya mencurigai Budi Utomo atau sekedar menganggapnya sebagai
gangguan yang potensial. Akan tetapi, pada desember 1909, Budi Utomo dinyatakan
sebagai organisasi yang sah.
Dalam
Budi Utomo sebagai organisasi modern tertampunglah kebutuhan akan interaksi
sosial dikalangan priyayi professional dan birokrsi itu, antara lain untuk
mengatasi kekurangannya ikatan-ikatan primordial dan komunal. Keanggotaan Budi
Utomo member identitas baru dan sekaligus mencakup perseorangan dalam solidaritas
baru ( Durkheim: organic solidarity).
Jaringan sosial ternyata terbatas pada subkultur regional (Jawa) serta
subkultur priyayi sehingga Budi Utomo mengalami keterbatasan dalam memobilisasi
anggota. Golongan-golongan tanpa identitas subkultur tersebut dengan sendirinya
ada di luar jangkauannya. Reaksi dari golongan itu yang kesemuanya merupakan
manifestasi dari identitas golongan masing-masing, baik solidaritas subkultur
etnis, maupun subkultural kelas atau golongan sosialnya.
Budi Utomo mengalami fase perkembangan
penting saat kepemimpinan Pangeran Noto
Dirodjo. Saat
itu, Douwes Dekker, seorang Indo-Belanda yang sangat
properjuangan bangsa Indonesia, dengan terus terang mewujudkan kata
"politik" ke dalam tindakan yang nyata. Berkat pengaruhnyalah
pengertian mengenai "tanah air Indonesia" makin lama makin bisa
diterima dan masuk ke dalam pemahaman orang Jawa. Maka muncullah Indische Partij yang sudah lama dipersiapkan oleh Douwes Dekker melalui
aksi persnya. Perkumpulan ini bersifat politik dan terbuka bagi semua orang
Indonesia tanpa terkecuali. Baginya "tanah air api udara" (Indonesia)
adalah di atas segala-galanya.
Pada masa itu pula muncul Sarekat Islam, yang pada awalnya dimaksudkan sebagai suatu perhimpunan
bagi para pedagang besar maupun kecil di Solo dengan nama Sarekat Dagang Islam,
untuk saling memberi bantuan dan dukungan. Tidak berapa lama, nama itu diubah
oleh, antara lain, Tjokroaminoto, menjadi Sarekat Islam, yang
bertujuan untuk mempersatukan semua orang Indonesia yang hidupnya tertindas
oleh penjajahan. Sudah pasti keberadaan perkumpulan ini ditakuti orang Belanda.
Munculnya gerakan yang bersifat politik semacam itu rupanya yang menyebabkan
Budi Utomo agak terdesak ke belakang. Kepemimpinan perjuangan orang Indonesia
diambil alih oleh Sarekat Islam dan Indische Partij karena dalam arena politik
Budi Utomo memang belum berpengalaman.
Karena gerakan politik
perkumpulan-perkumpulan tersebut, makna nasionalisme makin dimengerti oleh kalangan luas. Ada beberapa kasus
yang memperkuat makna tersebut.
Ketika Pemerintah Hindia Belanda hendak merayakan ulang tahun kemerdekaan
negerinya, dengan menggunakan uang orang Indonesia sebagai bantuan kepada
pemerintah yang dipungut melalui penjabat pangreh praja pribumi, misalnya,
rakyat menjadi sangat marah.
Kemarahan itu mendorong Soewardi
Suryaningrat (yang kemudian bernama Ki Hadjar Dewantara) untuk menulis sebuah artikel
"Als ik Nederlander was" (Seandainya Saya Seorang
Belanda), yang dimaksudkan sebagai suatu sindiran yang sangat pedas terhadap
pihak Belanda. Tulisan itu pula yang menjebloskan dirinya bersama dua teman
dan pembelanya, yaitu Douwes Dekker dan Tjipto
Mangoenkoesoemo
ke penjara oleh Pemerintah Hindia Belanda. Namun, sejak itu Budi Utomo tampil
sebagai motor politik di dalam pergerakan orang-orang pribumi.
Waktu
didirikan, Budi Utomo pada hakikatnya
sudah menghendaki suatu tujuan politik, tetapi dalam lahirnya, tidak begitu
tegas dinyatakan tujuan itu ialah “kemerdekaan” tetapi hanya “kehidupan sebagai
bangsa yang terhormat”. Maka pada waktu itu belum dapat dikatakan bahwa Budi
Utomo didirikan sebagai perkumpulan politik. Hal ini juga di sebabkan, pada
waktu itu ada pasal yang tegas melarang perkumpulan politik. Tetapi pada
perkembangannya praktek Budi Utomo didorong kelapangan politik. Di mulai pada
perang dunia I (1914-8), pelayaran antara Indonesia dan eropa terganggu oleh
perang itu, komunikasi terhambat, anggaran belanja untuk kesejahteraan
dikurangi, harga barang naik dan kesejahteraan rakyat Indonesia merosot.
Masalah
Indíë weerbaar (pertahanan hindia)
mula-mula merupakan persoalan pertahanan, tetapi segera berkaitan erat dengan
usul-usul bagi pembentukan Volkraad, “dewan rakyat”. Gagasan pembentukan milisi
paruh-waktu yang terdiri atas orang-orang Indonesia telah dipertimbangkan, dan
ditolak oleh pemerintah pada tahun 1913-4. Akan tetapi, dengan pecahnya Perang
Dunia I pada bulan Agustus 1914, gagasan tersebut dibicarakan lagi, karena
milisi meruakan kekuatan pertahanan yang lebih murah daripada memperbesar
pasukan professional. Pada tahun 1916-7, suatu deligasi yang terdiri atas wakil
Budi Utomo, SI, Regenten Bond, dan organisasi-organisasi serupa dari keempat
kerajaan Jawa berkunjung ke negeri Belanda. Mereka mengajukan petisi kepada
Ratu Wilhemina. Ketika parlemen Belanda bertindak menangani masalah-masalah
itu, maka rancangan undang-undang bagi pembentukan milisi pribumi tidak
disetujui, tetapi pada bulan desember 1916 rancangan undang-undang bagi
pembentukan Volsraad disetujui.
Partai-partai
Indonesia kini bersiap-siap untuk pemilihan anggota Volksraad. Setelah
Volksraad terbentuk ada usaha untuk mempersatukan aliran-aliran yang pada waktu
itu terdapat golongan kiri. Pada waktu itu diadakan usaha untuk mempersatukan,
untuk mendirikan suatu fraksi di dalam Volksraad yang dinamakan radical concentratie. Atas prakarsa dari
anggota ISDV, Ir. Kramer. Yang masuk di dalam perkumpulan ini ialah ISDV, Budi
Utomo, SI dan NIP.
Dalam
perkembangan selanjutnya dalam suasana politik yang semakin
terbuka melalui Kongres 1928, Budi Utomo memutuskan akan menjalankan
prinsip nonkooperasi jika rencana undang-undang tentang Inlandsche Meerderheid dalam Volksraad
ditolak Perwakilan Rakyat Belanda. Keputusan penting penambahan satu kalimat
dalam pasal tujuan perhimpunan: membantu terlaksananya cita-cita
persatuan Indonesia. Konggres 1932, tujuan BU diubah secara radikal
yaitu Mencapai Indonesia Merdeka. Prakarsa mengenai fusi
disetujui kongres; terbuka bagi perhimpunan yang beranggotakan orang
Indonesia; diselenggarakan atas dasar kenasionalan Indonesia yang
menuju Indonesia merdeka dan Kesatuan; bersikap kooperatif, dengan
hal-hal tertentu dijalankan non-kooperatif. Konggres Juni 1933,
membahas masalah Ordonansi Sekolah Liar (Wilde Scholen ordonnantie), perbaikan hidup kaum tani dan
menentang pembatasan hak berserikat dan berkumpul. Januari 1934,
dibentuk komisi PBI (Persatuan Bangsa Indonesia), yang
kemudian disetujui oleh kedua pengurus besarnya pertengahan 1934.
Tanggal 24-26 Desember Kongres peresmian fusi dan juga merupakan
kongres terakhir BU, dan lahirlah Partai Indonesia Raya atau
disingkat PARINDRA. Demikian selesailah riwayat perkumpulan Budi Utomo.
DAFTAR
PUSTAKA
AK. Pringgodigdo. 1986.
Sejarah Pergerakan Rakyat Indonesia.
Jakarta: Dian Rakyat
Kartodirdjo, Sartono.
1999. Pengantar Sejarah Indonesia Baru:
Sejarah pergerakan Nasional dari komunis sampai nasionalisme jilid 2.
Jakarta: PT.Gramedia
Nagazumi, Akira. 1989. Bangkitnya Nasionalisme Indonesia: Budi
Utomo 1908-1918. Jakarta: Pustaka Utama Grafiti
Ricklefs, M.C. 2010. Sejarah Indonesia Modern 1200-2008.
Jakarta: PT Ikrar Mandiriabadi
Susanto Tirtoprodjo.
1988. Sejarah Pergerakan Nasional
Indonesia. Jakarta: PT Pembangunan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar